Seperti hal-nya sedih, senang, marah, dan kecewa, rasa sepi terkadang menyusup di jiwa manusia. Rasa ini datang tak pandang bulu, tak tentu waktu. Meski begitu, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi rasa sepi. Bagi perantau yang tinggal jauh dari keluarga dan sahabat, tetap terkoneksi dengan orang tersayang lewat HP dengan menelpon atau ber-video call bisa jadi solusi.
Jika seorang dewasa bisa merasa sepi maka anak kecil juga sama. Jika orangtua bisa kesepian meski di tengah keramaian, maka sangat mungkin untuk anak merasakannya juga meski dia berada di tengah keluarga. Bedanya, orang dewasa bisa inisiatif melakukan banyak hal untuk menghibur diri, sedangkan anak-anak jangankan mencari solusi, mengidentifikasi perasaanya saja terkadang masih belum bisa. Mereka lebih sering mengungkapkannya dengan tangisan, rengekan, ataupun sifat agresif.
Oleh karena itu, orangtua dan anak bisa saling berbagi rasa untuk mengusir sepi. Dengan bermain, bercanda, dan tertawa bersama. Bukan berarti orangtua harus nempel terus sama anak yaa, yang terpenting adalah orangtua hadir di saat anak membutuhkan perhatian. Biasanya anak yang tiba-tiba mendekati orangtua itu pertanda jiwanya butuh diisi ulang dengan kasih sayang. Maka, sambutlah ia dengan gembira seperti dengan memeluk, mencium, mengusap kepalanya, atau mengajaknya ngobrol.
Tetapi saat kita lagi 'sibuk' mengerjakan sesuatu, disitulah letak ujiannya. Jika ortu menolak dan mengusirnya dengan kasar disitulah kesepian di hati anak akan melahirkan luka. Dan saat itu terus menerus terjadi maka dikhawatirkan akan muncul masalah perkembangan pada anak di kemudian hari.
Misalnya, saat ortu sedang menelpon, ada batas waktu di mana anak akhirnya mendekat seakan merajuk ingin menikmati waktu bersama dan tak ingin diabaikan terlalu lama. Di bawah ini ada beberapa kondisi orangtua terkait menelpon atau menerima telpon di rumah, menurut kesimpulan aku, silakan disesuaikan dengan kebijakan masing-masing:
- Memilih untuk melakukannya saat sedang sendirian atau saat anak tidur. Jadi bisa lebih leluasa sekaligus tidak membuat anak merasa diabaikan.
- Ortu menerima telepon kapan saja, tetapi saat anak mendekat dan menunjukkan sinyal ingin ditemani, maka ortu mengakhiri panggilan dengan sopan atau mengajak anak ikut terlibat dengan obrolan jika memungkinkan.
- Saat melakukan panggilan penting dan mendesak, ortu bisa minta waktu sebentar untuk bicara pada anak agar menunggunya.
- Kalau ortu sampai kelepasan marah dan bersikap kasar, jangan lupa meminta maaf pada anak setelah panggilan telepon berakhir dan lakukan hal menyenangkan bersama anak untuk menambal luka di hatinya.
Rasa sepi pada anak tidak diukur berdasarkan berapa jumlah saudara kandungnya, melainkan bagaimana orangtuanya bersikap agar anak merasa aman dan ternanungi jiwanya. Seorang anak dengan jumlah saudara kandung lebih dari tiga bisa saja merasa sepi ketika orangtua mengusirnya dengan kasar padahal dia mendekat hanya karena ingin disayang Jika kejadian ini berulang setiap harinya, maka si anak rentan mengalami kesepian yang akan menimbulkan masalah perkembangan emosinya.
Sebaliknya, anak tunggal yang kebanyakan orang iseng bilang 'kasian sendirian, gak mau dikasih adik biar gak kesepian?' sangat mungkin untuk tidak merasa kesepian jika tangan sang ibu selalu terbuka dan sang ayah selalu hadir di saat anak butuh.
Bicara tentang kebutuhan emosional anak, beberapa waktu lalu di depan gerbang daycare Wafi dipasang papan himbauan. Hal ini membuatku teringat bahwa di pusat kota Espoo, di sekitar tempat tinggalku ada banyak imigran yang hidup terpisah dari keluarga. Aku sering mendapati mereka menelpon di mana saja seperti di dalam bus, sepanjang berbelanja, ataupun saat menemani anak bermain di taman. Aku bisa memahami, karena aku juga tak jarang melakukan itu. Perbedaan waktu dengan kampung halaman menjadi kendala komunikasi karena masing-masing punya jam sibuk yang tidak bersamaan. Mungkin inilah yang menyebabkan kami bisa menelpon atau menerima telpon kapan saja di mana saja untuk menyesuaikan jam senggang keluarga di seberang sana. Tetapi, kalau aku pribadi lebih memilih tidak melakukannya di keramaian kecuali mendesak.
|
foto: 07 September 2022 |
Sekolah menghimbau orangtua untuk menghentikan obrolan telepon pada waktu penjemputan, karena anak bukan hanya membutuhkan fisik ortu untuk menuntunnya agar sampai rumah dengan selamat, tetapi anak butuh rasa aman dan merasa berharga dengan kehadiran jiwa dan pikiran orangtua. Papan pengingat itu seakan mewakili permintaan anak yang menyatakan:
”Tak apa kalau saat jalan mengantarku sekolah ayah/ibu menelepon, aku bisa memahami engkau juga butuh sosialisasi.
Tak apa saat menemaniku main di taman ayah/ibu pegang HP, aku mengerti karena tengki cintamu juga butuh diisi.
Tetapi, kumohon saat menjemputku, setelah beberapa jam kita tidak bertemu aku ingin merasa dirindukan dan ditemui dengan sepenuh perhatian.
Aku ingin melihat raut bahagiamu saat menatapku. Aku ingin antusiasmu mendengar ceritaku di sekolah hari ini.
Seperti tanganmu yang hangat saat menggandengku, tulusnya perhatianmu sangat menghangatkan jiwaku"
Perlu kita akui bersama bahwa di zaman ini, semua lapisan masyarakat sudah terbiasa dengan interaksi lewat gadget, apapun statusnya, perantau ataupun bukan. Ini bukan hanya soal gadget ya, karena sebagai orangtua, kesibukan kita bukan hanya menelpon, apapun jenis kerjaanya, mengelola kesabaran itu diperlukan untuk menghindari marah-marah saat terganggu ditempelin anak. Sepenting apapun urusanya, perkembangan jiwa anak juga tidak kalah pentingnya, maka dibutuhkan komunikasi yang terjalin dengan baik antara orangtua dan anak, kita bisa menjelaskan situasinya pada anak dengan lembut supaya anak bisa mengerti kapan orangtua sibuk dan kapan mereka bersantai. Orangtua juga manusia yang bisa khilaf sehingga tidak bisa mengendalikan emosi, tetapi kabar baiknya adalah bawha selalu ada kesempatan untuk menambal luka anak minimalnya dengan kata maaf yang tulus.
Selesai-