Ketika Anak Mainan Lampu
CERITA WAFI -
Jika di siang hari ada apartemen dengan lampu menyala, besar kemungkinan itu adalah apartemen kami. Di dalamnya tinggal seorang anak berusia 2.5 tahun yang sedang belajar konsep gelap & terang. Tanganya yang mungil sudah mampu menggapai saklar lampu dengan mudah. Bermain lampu menjadi hobi barunya akhir-akhir ini.
Sebenarnya, hobi baru ini sudah dilakukan sejak Wafi belum genap 2 tahun, aku dan suami merespon sikapnya dengan tegas. Kalimat yang kami ucapkan sangat biasa, “Jangan main lampu, nanti lampunya rusak”. Wafi yang belum memahami kata-kata kami, sempat menangis karena kaget. Esoknya ia mengulang kembali aksinya, dengan dan tanpa sepengetahuan kami. Karena di on-of-on-of secara cepat, lampu kamar & ruang serbaguna menjadi konslet & mati. Saat itu, yang menjadi salah satu pencetus larangan kami adalah harga lampu yang cukup mahal, bisa mencapai 20 euros ( IDR 300 ribu).
Yang ada di benak-ku saat itu adalah bagaimana cara membuat Wafi berhenti bermain lampu. Karena selain karena harga lampu yang mahal, emosiku juga sering terpancing. Emosi yang aku rasakan lebih ke rasa takut. Aku takut Wafi menjadi anak yang membangkang karena “tidak mau mendengar kata-kata orangtua”. Aku takut jika mainan lampu menjadi kebiasaan yang akan dilakukan Wafi sampai besar nanti. Aku takut jika ia suka bermain lampu di rumah orang atau di tempat umum. Di sisi lain, aku juga takut melukai perasaan anak kecil yang masih polos dan tak tahu kenapa dia dimarahi.
Aksi main lampu ini sempat berhenti beberapa bulan. Lalu, sekarang wafi sudah mulai bermain lampu lagi, dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Ia akan menyalakan semua lampu secara merata, meskipun di siang hari yang menyilaukan. Karena kemampuan berkomunikasinya sudah meningkat, aku jadi lebih mudah memberinya pemahaman. “Sekarang siang fi, di luar ada matahari jadi udah terang. Kita ga butuh nyalain lampu, malah jadi mubazir nantinya”. Kami tahu konsep mubazir belum dapat dicerna oleh otaknya. Yang ia tahu, menyalakan lampu membuat mobil-mobilannya menjadi terang, makanan di dapur menjadi terang, dll. Alasan itu ia utarakan padaku setiap kali menyalakan lampu: “Biar terang mwanyah (semuanya)”.
Jika dilihat dari sudut pandang-ku sebagai orang dewasa, semua ruangan sudah cukup terang karena matahari. Aku dan suami sudah tidak lagi meninggikan suara. Meski begitu, aku tetap memberinya pemahaman, secara halus, tidak menyudutkan, dan tidak memaksa, aku belajar fokus ke niat baiknya, “Makasih ya fi, ruanganya jadi terang nih”. Syukurnya, sekarang sudah masuk musim dingin, jadi cahaya lampu tidak adu terang dengan matahari, karena sering tertutup awan.
Sebenarnya, penglihatanku sangat terganggu dengan cahaya lampu di siang hari, merasa sangat silau dan tidak nyaman. Tetapi disini akulah yang orang dewasa, jadi aku yakin bahwa yang harus sabar dan mengalah adalah aku, bukan sebaliknya anak 2.5 tahun yang harus memahami kondisiku yang sangat terganggu. Apalagi jika harus selalu "bersaing" mati-nyalain lampu dengan Wafi,, sudah terbayang bagaimana akhirnya. Lampu yang konslet dan aku jadi salah satu pelakunya, atau sikap amarah yang akan muncul, jiwa Wafi yang terluka, dan semua itu bukanlah yang aku harapkan.
Wafi, 26 September 2021 |
Ibu Elly Risman, seorang psikolog pernah menjelaskan di salah satu seminar beliau yang aku dengar dari youtube bahwa anak kecil itu akan meresapi perkataan orang dewasa, mencerna nasehat dan pesan orangtua asalkan perkataan itu diucapkan dengan suara yang rendah, halus, dan tulus membimbing. Perkataan dengan nada tinggi yang penuh amarah diiringi dengan sikap kasar hanya akan meninggalkan luka di hati anak, anak pun tidak dapat menyerap nasehat orangtua dengan baik. Jadi aku optimis, dengan memberikan pemahaman secara perlahan, tidak menuntut hasil instan dari Wafi, insya Allah semua akan berakhir dengan baik.
Sesekali aku meminta pada Wafi untuk mematikan lampu pada ruangan yang tidak terpakai, dia menurut tetapi belum mengerti tentang pengecualian, jadi semua dia matikan. Dan untuk mendukung hal yang sedang dia sukai, Aku menugaskan dia untuk mematikan lampu-lampu saat malam hari sebelum tidur, dan saat akan pergi meninggalkan rumah.
Aku masih belajar menekan egoku sebagai orangtua yang ingin perkataanya didengar, karena aku tidak ingin didengar dengan rasa takut. Aku ingin didengar dengan rasa cinta nan tulus. Aku juga belajar mengikis rasa takut yang berlebihan, dan menjadi optimis bahwa ini ga akan berlanjut sampai Wafi besar nanti, karena aku bukan membiarkannya tanpa bimbingan. Aku berusaha menasehatinya dengan lembut. Yang terbesit dalam benakku adalah, jika kebutuhan anak sudah terpuaskan di masa kecil tidak akan terbawa sampai besar, lebih dari itu tidak ada luka yang tertinggal di hatinya, insya Allah. Aku juga optimis ia tak akan bermain lampu di rumah orang atau di tempat umum, karena rasa penasarannya sudah tersalurkan di tempat terbebas, rumahnya sendiri bersama manusia yang paling bisa memaklumi dan menerima sikapnya, ibunya sendiri.
Aku tidak ingin banyak melarangnya, karena aku tidak ingin dia berhenti mencoba melakukan yang dia suka. Keberadaan aku dan suami sebagai orangtua memang bertugas untuk membimbing dan meluruskan tanpa mengharap hasil yang instan. Sampai kedepannya aku berharap pada Allah agar memberi kami ilmu yang bermanfaat dalam mendidik dan membesarkan anak. Karena kami tahu, hal kecil yang kami lakukan akan tumbuh bersamanya dan membentuk karakternya.
Kami tahu bahwa pola parenting yang kami lakukan bukanlah satu-satunya yang paling sempurna, kami hanya berusaha untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian di rumah kecil kami, toh hasilnya kami yang rasakan sendiri. Lampu yang tidak rusak lagi, Wafi yang memiliki kebebasan mengexplore apa yang dia bisa, sambil belajar tentang mubazir, hemat, dan melayani sekitar lewat sudut pandangnya (dengan memberikan cahaya lampu agar terang), juga tidak adanya keterlibatan amarah kami.
Sekarang, sudah dua bulan berlalu sejak pertama kali aku tulis cerita ini. Wafi sudah berhenti main lampu, masa aktif main lampu hanya bekisar hitungan bulan, dan SELESAI begitu saja. Ya! Ketika anak mainan lampu, itu ada masa tenggangnya. Tidak akan berlangsung selamanya, karena semua ada masanya. Makhluk kecil yang baru kenal dunia, wajar saja jika ingin mencoba banyak hal, penasaran terhadap sesuatu sehingga melakukannya berulang kali. Bukan begitu?
0 komentar:
Posting Komentar