hanya menulis apa yang membuatku senang saat membacanya~

AHLAN

Selamat datang di blog ini.
Enjoy Reading !

Rabu, 01 April 2020

Bentuk Kebohongan Pada Anak


“....Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka.” (HR. Muslim no. 2607)

Meski tidak ada seorangpun yang merasa senang dibohongi, kenyataanya masih banyak orang yang suka berbohong, baik secara sadar maupun tidak. Padahal, bohong itu merupakan sifat yang tercela. yang memiliki dampak yang buruk bagi pelaku dan juga korbannya.

Contohnya dalam pengasuhan, banyak orangtua yang tidak menyadari betapa seringnya mereka berbohong kepada anak. Sekalipun menyadari, mereka menganggap bahwa hal itu bukan definisi berbohong yang selama ini mereka yakini. Hanya karena objeknya adalah anak kecil yag polos, orangtua merasa kebohongan ini aman dilakukan.

Kebohongan akan mengikis kepercayaan si anak kepada orangtuanya, jika anak tidak dapat percaya pada orang terdekat dan terkasihnya, maka kepada siapa dia harus percaya?

Disamping itu, kebohongan akan membuat jarak antara orangtua dan anak, merusak kelekatan diantara mereka, yang semua itu diperlukan orangtua dalam mendidik anak dari kecil hingga besar nanti.

Bukankah orangtua adalah sumber utama pengetahuan dan kebaikan?
Siapkah jika nasehatnya tidak didengar oleh anak?
Darimana anak akan belajar nilai-nilai kebaikan dalam hidupnya?

Salah satu upaya untuk membangun kepercayaan dan kelekatan antara orangtua dan anak adalah dengan menghindari kebohongan sekecil apapun dan bagaimanapun bentuknya.

www.flickr.com

Berikut ini contoh bentuk kebohongan yang sering diucapkan orangtua atau orang dewasa kepada anak kecil:

1.Berniat Mengajak
“Ayo kita mandi, main air dan kapal-kapalan yuk!”
Ketika anak nurut ingin mandi dan sudah membayangkan bermain air, seketika ibu berfikir sambil melepas pakaian anaknya, “Duh lupa, perut anakku kosong, bisa masuk angin dia kalo main air kelamaan”
Berakhirlah anak mandi tanpa main air. Dengan mudah anak akan menyadari bahwa dia telah dibohongi, ibunya tidak menepati janji. Karena umur yang masih kecil, dia hanya menyimpan semuanya dalam memori, tidak mampu mengekspresikan lewat kata.

2.Bermaksud Memotivasi
“Ini suapan terakhir nak, aaaaaa”
Janji sudah terucap, tetapi masih ada sisa nasi di piring, akhirnya disuapkan 1 atau 2 sendok lagi. “Masih ada nih sayang, biar gak mubadzir....aaaa.”

“Ayo makannya dihabiskan nak, nanti ibu beliin es-krim deh”
Setelah makanan habis, si kecil ingin menagih es krim tetapi belum bisa mengucapkannya, seketika ibunya tidak membelikan eskrim, makai ia sadar dirinya telah dibohongi.

3.Bertujuan untuk Mengalihkan
Untuk mendiamkan anaknya yang menangis, ibu menggendongnya seraya berkata “Ayo cari cicak”, “Ayo lihat burung” di tempat yang tidak mungkin mendapatkanya. Anak mungkin akan berhenti menangis, tetapi ia merasa ditipu, ternyata tidak ada cicak maupun burung yang muncul.

"Ini pedas nak, lihat tuh ada merah-merahnya” padahal itu tomat, bukan cabe.
Saat mama ke dapur mengambil minum, anaknya memakan dan mendapati bahwa itu tidak pedas.

4.Berniat Menenangkan
“Kita mau ke dokter, tapi cuma mamah aja yag diperiksa, kamu ga akan disuntik”
Dengan harapan anaknya tidak rewel dan menangis di jalan menuju klinik, tetapi sampai di klinik ia disuntik.
Rasa kecewa dan merasa dibohongi akan membekas dalam hati, tidak akan pernah sepadan dengan ketenangan yang orangtua rasakan  saat anak tidak rewel di perjalanan.

"Udah jangan nangis lagi, ntar ada polisi yang dateng ke rumah"
"Cepet tidur, ntar ada anjing" Selain berbohong, anak bisa jadi penakut dan terbawa sampai besar.

5.Untuk Memberhentikan
“Bentar ya, mama pinjem HP nya dulu, mau lihat chat dari papa”
Setelah diberikan, HP nya diumpetin dan merasa berhasil telah membuat anaknya berhenti main HP. Mungkin iya, tetapi anak akan merasa diremehkan, dan ditipu.

8.Mengulur waktu
“Mama wudhu dulu ya, kamu tunggu di kamar sambal baca buku”
Ehh, mumpung anaknya lagi anteng di kamar, sekalian mandi aja deh dan keluar setelah sepuluh menit. Si anak merasa menunggu lama, mamah berbohong.

Wah aku ga akan percaya lagi sama mamah. Dikibulin mulu, jangan-jangan semua yang mamah omongin semuanya bohong?

“Sholat nak, biar Allah sayang”
“Jangan main gunting nak, tajam dan bisa melukai”
“Rapihkan mainannya biar kamu tidur dengan nyaman”
"Film ini ga bagus untuk ditonton"

Oke, next time aku ga akan dengerin mamah lagi. Dan aku akan ikuti cara mamah, berbohong dan lari dari masalah. 

KENAPA HARUS BERBOHONG? 

Diantara alasan kenapa orangtua berbohong pada anak adalah, malas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Merasa tidak punya waktu untuk bicara panjang lebar. Tidak yakin bahwa anak akan mendengarkan omongannya. Atau tidak terbiasa melakukannya.

Berarti hanya butuh berlatih agar jadi terbiasa dan tidak sulit melakukannya. Jika orangtua konsisten meluangkan waktu untuk menjelaskan yang sebenarnya, maka anak akan percaya dan mudah diarahkan. Hubungan baik pun akan terjalin, kepercayaan akan terbangun, dan kebaikan akan menyertai.

BAGAIMANA JIKA NASI SUDAH MENJADI BUBUR?

Bagaimana jika sudah terlanjur janji dan tidak bisa ditepati? Terlanjur bohong tetapi menyesal?

Pertama, orangtua harus berusaha semaksimal mungkin untuk menepati janji meskipun tidak serius mengucapkannya, karena anak hanya menilai apa yang didengar & dilihat.

Bagaimana dengan klarifikasi??
Jika sesuatu terjadi diluar kehendak orangtua, maka klarifikasi dapat menghapus kesalahan tersebut, tetapi jangan selalu bergantung pada klarifikasi karena jika terus terulang anak pun akhirnya akan merasa bahwa itu hanya alasan ibu nya untuk melanggar janji.

Jadi untuk mempertahankan kepercayaan anak pada ibu, ibu harus berjuang menepati janji sederhananya, utamakan anak, meski harus bersimbah darah & menerjang dalamnya lautan, syukurnya ga harus separah itu kan?

Jika anak terlanjur tidak percaya pada orangtua, yang bisa dilakukan orangtua adalah memohon ampun pada Allah, memperbaiki sikap di depan anak, menambal luka anak dengan tidak berbohong lagi, menjadi orang yang jujur dan dapat dipercaya, semoga anak akan berubah dengan sendirinya karena melihat konsistensi kejujuran orangtuanya.

SHARE PENGALAMAN

Pernah suatu hari saya akan periksa di klinik di tempat Wafi biasa vaksin, Wafi bertanya kita mau kemana dan mau apa? Saya bilang bahwa kita akan ke klinik yang ada tempat mainannya tetapi yang akan periksa adalah ummi, bukan Wafi, Wafi hanya menemani dan akan bermain di ruang dokter. Sesampainya disana dan urusan saya selesai, saya mengatur jadwal vaksin Wafi yang sempat tertunda, maka tanpa diduga suster bilang bahwa sekarang juga Wafi bisa dapat vaksin, yang artinya Wafi akan disuntik saat itu juga. Tentu saja ini tidak seperti yang saya duga sebelumnya. Sepulang dari klinik saya terus meyakinkan Wafi bahwa tadi bukanlah yang ummi kira, ummi insya Allah ga akan berbohong pada Wafi. dsb.

Pernah juga saya membuat air madu dan sedikit jahe. Wafi bertanya itu apa, dan dia ingin meminumnya. Saya jelaskan dan berkata bahwa ini tidak begitu pedas, saya salah karena mengukur  minuman itu dengan standar lidah saya, ternyata minuman tadi membuat Wafi kepedesan, dan kejadian ini sempat terulang beberapa kali. Dan pada saat saya membuatkan air madu tanpa jahe untuk Wafi, dia menolak dan yakin bahwa itu air yang pedas. Memang sih warnanya kan tidak jauh berbeda. Akhirnya saya membuat air madu di depan Wafi, dia melihat bahwa saya hanya mencampur air dan madu, lalu dia mau meminumnya.

Anak bertindak sesuai insting yang terbangun, tidak melihat siapa pelakunya, tetapi apa yang dia lihat dan rasakan lewat pengalaman.

Saya rasa tidak adil jika seorang ibu berkata "Kok kamu ga percaya sih sama ibu, ibu ga bohong loh" , "Sama ibu sendiri kok gamau dengerin" mungkin saat itu ibunya memang tidak berbohong, tetapi bisa jadi lewat pengalaman anak, ibu pernah membohongiku, telah mengecewakanku jadi kali ini aku tidak ingin percaya, aku berjaga-jaga agar tidak kecewa lagi.


truththeory.com


TIPS MENGHENTIKAN KEBIASAAN BERBOHONG KEPADA ANAK

1.Aktifkan ALARM pada diri sendiri saat janji sudah terucap, dan kuatkan diri untuk menepatinya.
2.Temukan orang terdekatmu yang dapat menjadi reminder & support system untuk meninggalkan kebiasaanmu.
3.Jangan kabur dari masalah, jelaskan semuanya pada anak secara sederhana, meski mengambil waktu yang lama tapi insya Allah berbuah kebaikan.
4.Percaya pada anak, bahwa ia akan menurut dan tenang meski tanpa dijanjikan sesuatu, dan ia akan mendengarkan apa yang kita jelaskan dengan kasih sayang.
5.Maafkan masa lalumu, jika dulu orang dewasa di sekitarmu kerap kali berbohong padamu sehingga tanpa sadar kamu mengikuti jejak mereka, kembali kepada akal sehatmu di masa kini dengan pemahaman yang kamu miliki tentang betapa buruknya berbohong dan konsekuensinya.
6.Merenung, bayangkan anak mu tumbuh sesuai harapanmu, menjadi anak yang jujur, berbagi cerita dan masalahnya kepadamu. Maka jangan rusak harapanmu dengan kebiasaan berbohogmu. Karena 1000 kali kamu bilang "jangan bohong nak, Allah tidak suka" tidak akan mempan jika kamu terus memberinya teladan.
7.Tidak menjanjikan sesuatu jauh lebih baik daripada melanggar janji yang telah dibuat. Tahan lisanmu agar tak mengobral janji.
8.Berdoa dan meminta pertolongan dari Allah.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar.” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)

Aamiin~

Jumat, 06 Maret 2020

Ketika Anak Mainan Lampu


CERITA WAFI -

Jika di siang hari ada apartemen dengan lampu menyala, besar kemungkinan itu adalah apartemen kami. Di dalamnya tinggal seorang anak berusia 2.5 tahun yang sedang belajar konsep gelap & terang. Tanganya yang mungil sudah mampu menggapai saklar lampu dengan mudah. Bermain lampu menjadi hobi barunya akhir-akhir ini.

Sebenarnya, hobi baru ini sudah dilakukan sejak Wafi belum genap 2 tahun, aku dan suami merespon sikapnya dengan tegas. Kalimat yang kami ucapkan sangat biasa, “Jangan main lampu, nanti lampunya rusak”. Wafi yang belum memahami kata-kata kami, sempat menangis karena kaget. Esoknya ia mengulang kembali aksinya, dengan dan  tanpa sepengetahuan kami. Karena di  on-of-on-of secara cepat, lampu kamar & ruang serbaguna menjadi konslet & mati. Saat itu, yang menjadi salah satu pencetus larangan kami adalah harga lampu yang cukup mahal, bisa mencapai 20 euros ( IDR 300 ribu).

Yang ada di benak-ku saat itu adalah bagaimana cara membuat Wafi berhenti bermain lampu. Karena selain karena harga lampu yang mahal, emosiku juga sering terpancing. Emosi yang aku rasakan lebih ke rasa takut. Aku takut Wafi menjadi anak yang membangkang karena “tidak mau mendengar kata-kata orangtua. Aku takut jika mainan lampu menjadi kebiasaan yang akan dilakukan Wafi sampai besar nanti. Aku takut jika ia suka bermain lampu di rumah orang atau di tempat umum. Di sisi lain, aku juga takut melukai perasaan anak kecil yang masih polos dan tak tahu kenapa dia dimarahi.

Aksi main lampu ini sempat berhenti beberapa bulan. Lalu, sekarang wafi sudah mulai bermain lampu lagi, dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Ia akan menyalakan semua lampu secara merata, meskipun di siang hari yang menyilaukan. Karena kemampuan berkomunikasinya sudah meningkat, aku jadi lebih mudah memberinya pemahaman. “Sekarang siang fi, di luar ada matahari jadi udah terang. Kita ga butuh nyalain lampu, malah jadi mubazir nantinya”. Kami tahu konsep mubazir belum dapat dicerna oleh otaknya. Yang ia tahu, menyalakan lampu membuat mobil-mobilannya menjadi terang, makanan di dapur menjadi terang, dll. Alasan itu ia utarakan padaku setiap kali menyalakan lampu: “Biar terang mwanyah (semuanya)”

Jika dilihat dari sudut pandang-ku sebagai orang dewasa, semua ruangan sudah cukup terang karena matahari. Aku dan suami sudah tidak lagi meninggikan suara. Meski begitu, aku tetap memberinya pemahaman, secara halus, tidak menyudutkan, dan tidak memaksa, aku belajar fokus ke niat baiknya, “Makasih ya fi, ruanganya jadi terang nih”. Syukurnya, sekarang sudah masuk musim dingin, jadi cahaya lampu tidak adu terang dengan matahari, karena sering tertutup awan.

Sebenarnya, penglihatanku sangat terganggu dengan cahaya lampu di siang hari, merasa sangat silau dan tidak nyaman. Tetapi disini akulah yang orang dewasa, jadi aku yakin bahwa yang harus sabar dan mengalah adalah aku, bukan sebaliknya anak 2.5 tahun yang harus memahami kondisiku yang sangat terganggu. Apalagi jika harus selalu "bersaing" mati-nyalain lampu dengan Wafi,, sudah terbayang bagaimana akhirnya. Lampu yang konslet dan aku jadi salah satu pelakunya, atau sikap amarah yang akan muncul, jiwa Wafi yang terluka, dan semua itu bukanlah yang aku harapkan.

Wafi, 26 September 2021 


Ibu Elly Risman, seorang psikolog pernah menjelaskan di salah satu seminar beliau yang aku dengar dari youtube bahwa anak kecil itu akan meresapi perkataan orang dewasa, mencerna nasehat dan pesan orangtua asalkan perkataan itu diucapkan dengan suara yang rendah, halus, dan tulus membimbing. Perkataan dengan nada tinggi yang penuh amarah diiringi dengan sikap kasar hanya akan meninggalkan luka di hati anak, anak pun tidak dapat menyerap nasehat orangtua dengan baik. Jadi aku optimis, dengan memberikan pemahaman secara perlahan, tidak menuntut hasil instan dari Wafi, insya Allah semua akan berakhir dengan baik.

Sesekali aku meminta pada Wafi untuk mematikan lampu pada ruangan yang tidak terpakai, dia menurut tetapi belum mengerti tentang pengecualian, jadi semua dia matikan. Dan untuk mendukung hal yang sedang dia sukai, Aku menugaskan dia untuk mematikan lampu-lampu saat malam hari sebelum tidur, dan saat akan pergi meninggalkan rumah.

Aku masih belajar menekan egoku sebagai orangtua yang ingin perkataanya didengar, karena aku tidak ingin didengar dengan rasa takut. Aku ingin didengar dengan rasa cinta nan tulus. Aku juga belajar mengikis rasa takut yang berlebihan, dan menjadi optimis bahwa ini ga akan berlanjut sampai Wafi besar nanti, karena aku bukan membiarkannya tanpa bimbingan. Aku berusaha menasehatinya dengan lembut. Yang terbesit dalam benakku adalah, jika kebutuhan anak sudah terpuaskan di masa kecil tidak akan terbawa sampai besar, lebih dari itu tidak ada luka yang tertinggal di hatinya, insya Allah. Aku juga optimis ia tak akan bermain lampu di rumah orang atau di tempat umum, karena rasa penasarannya sudah tersalurkan di tempat terbebas, rumahnya sendiri bersama manusia yang paling bisa memaklumi dan menerima sikapnya, ibunya sendiri. 

Aku tidak ingin banyak melarangnya, karena aku tidak ingin dia berhenti mencoba melakukan yang dia suka. Keberadaan aku dan suami sebagai orangtua memang bertugas untuk membimbing dan meluruskan tanpa mengharap hasil yang instan. Sampai kedepannya aku berharap pada Allah agar memberi kami ilmu yang bermanfaat dalam mendidik dan membesarkan anak. Karena kami tahu, hal kecil yang kami lakukan akan tumbuh bersamanya dan membentuk karakternya. 

Kami tahu bahwa pola parenting yang kami lakukan bukanlah satu-satunya yang paling sempurna, kami hanya berusaha untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian di rumah kecil kami, toh hasilnya kami yang rasakan sendiri. Lampu yang tidak rusak lagi, Wafi yang memiliki kebebasan mengexplore apa yang dia bisa, sambil belajar tentang mubazir, hemat, dan melayani sekitar lewat sudut pandangnya (dengan memberikan cahaya lampu agar terang), juga tidak adanya keterlibatan amarah kami.

Sekarang, sudah dua bulan berlalu sejak pertama kali aku tulis cerita ini. Wafi sudah berhenti main lampu, masa aktif main lampu hanya bekisar hitungan bulan, dan SELESAI begitu saja. Ya! Ketika anak mainan lampu, itu ada masa tenggangnya. Tidak akan berlangsung selamanya, karena semua ada masanya. Makhluk kecil yang baru kenal dunia, wajar saja jika ingin mencoba banyak hal, penasaran terhadap sesuatu sehingga melakukannya berulang kali. Bukan begitu?